April 13, 2009

Sederhana seperti Seorang Anak Kecil

Anak laki - laki kecil itu menghampiri saya . Dengan wajah ketakutan ia berusaha berbicara . "Kakak , mama saya tidak ada . Tadi ada di sana ." katanya berusaha menahan tangis . Umurnya baru sekitar 7 atau 8 tahun . Saya sedang sibuk melayani para jemaat yang berdatangan karena kebaktian paskah segera dimulai , entah mengapa , saya meninggalkan warta yang harus saya bagikan , dan mengantar anak itu mencari Ibunya .

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Sore itu saya dan Andre salah satu sahabat saya duduk di kursi depan di sebuah kafe . Disinari matahari sore yang hangat dan angin semilir membuat waktu mengobrol kami terasa sempurna . Saya engenal Andre semenjak 2 tahun lalu , saat itu saya masih di kelas 1 sma di kanaan , dan sekarang saya sudah kelas 3 , dan sudah berpindah sekolah berkali - kali semenjak waktu itu . Cepat rasanya waktu membawa kita . Dari seorang anak yang baru lulus SMP , yang sering dikerjai kakak kelas , dan sekarang , kami harus menghadapi Ujian Akhir ! 

Kami berbicara banyak hal . Mulai dari games , perempuan yang kami suka , sekolah masing - masing , dan masa lalu . 

"Masa lalu memberikan pelajaran bagi setiap kita ." kata saya pada suatu titik .

Sambil menyeruput softdrinknya , ia mengangguk setuju . Ia seperti ingin membicarakan sesuatu , namun tertahan , entah karena apa . 

"Pindah sekolah berkali - kali membuat saya tidak mengenal diri saya lagi ." kata saya sarkatis .

Ia meletakkan gelasnya , siap untuk berbicara . "Saya bersyukur , waktu kelas 1 dulu saya tidak naik kelas ." katanya akhirnya . Topik ini sedikit ia hindari , namun entah kenapa , hari ini ia ingin membicarakannya . "Dahulu , rasanya orang tua terlihat bawel dan sok ikut campur !" 

Saya tertawa renyah . Tak ada orang yang semengerti Andre selain saya mengenai hal ini .

"Sekarang , yang menjadi tujuan hidup saya ialah membahagiakan kedua orang tua saya dahulu .Pendeta kan tidak bisa hidup dalam kemewahan , kau tahu." katanya mengingatkan saya akan kedua orang tuanya yang pendeta di sebuah gereja kecil .


Bermandikan sinar mentari sore , dan rambutnya yang tertiup angin , Ia terlihat kolot waktu mengatakan hal itu . Seperti seseorang yang tidak saya kenal . Seperti bukan Andre berusia 17 tahun , yang selalu menjadi anak bawang di geng kami dulu . 

Namun begitu , dalam hati , saya mengangguk setuju . 

"Bagaimana rasanya memiliki pikiran yang sederhana ?" tanyaku .

"Maksudnya?"

"Yah , kadang saya iri melihat kamu . Pikiranmu begitu sederhana . Handphone yang apa adanya , tak memikirkan teknologi yang rumit , dan hal - hal rumit lainnya yang selalu saya pikirkan !"

Ia tersenyum tajam . "Singgungan atau Pujian?"

"Pujian." saya tertawa . 

Kami tertawa . 

Bagaimana rasanya menjadi seperti anak kecil yang tak memikirkan banyak hal yang merumitkan hidupnya ? Yang hidup hanya untuk hari ini , dan hidup hanya untuk menikmati semua hal dengan mendalam . Menikmati canda tawa hingga perutnya sakit , menikmati kasih ibu tanpa ada batasan - batasan seperti yang biasa orang dewasa buat , menikmati berlari dengan kencangnya menuju deburan ombak di pantai ? 

Bagaimana rasanya tidak memikirkan hal - hal yang kita takutkan akan terjadi ? Bagaimana rasanya menyambut hari esok tanpa perasaan resah dan tugas - tugas menumpuk ? Bagaimana rasanya menhargai hal - hal luhur: cinta , persahabatan, kesetiaan- tanpa rasa curiga ? Bagaimana rasanya berlari ke pelukan Ibunda ketika kita merasakan takut saat hujan deras dan petir menyambar - nyambar ?

Saya sudah lupa bagaimana rasanya .

-------------------------------------------------------------------------------------------------


"Tangan kamu kenapa ?" tanya saya ketika melihat ada hal aneh di tangannya .

"Ini dari lahir , ka." katanya polos .

Jari kelingking dan jari manisnya tidak ada , lalu ke tiga jari lainnya tidak tumbuh dengan sempurna . Saya tidak tega menanyakannya lebih lanjut , maka saya hanya menemaninya mencari Ibunya . Melewati orang - orang yang berlalu lalang di dalam ruangan gereja yang cukup besar . 

"Mama!!" teriaknya . Secepat kilat ia melepaskan genggaman tangan saya dan berlari ke arah Ibunya . 

Ibunya memeluknya erat . "Kamu kemana saja? Mama bilang kan jangan kemana - mana ." katanya dengan nada lega . Ia tak menyadari keberadaan saya hingga akhirnya ia melihat saya . "Ayo bilang terima kasih pada kakak ." 

Saya tersenyum kepada Ibu dan anak itu . Entah mengapa , sesaat saya merasakan kembali , bagaimana rasanya berada di pelukan Ibunda ketika saya takut karena hujan lebat dan petir yang menyambar tiada henti...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar